Selasa, 16 Februari 2010

Makalah filsafat juga

A. PENDAHULUAN

Husserl berpromosi tahun 1881 dalam bidang ilmu pasti. Kemudian ia menjabat sebagai asisten dalam mata kuliah ilmu pasti. Lama-kelamaan ia tertarik dengan filosofis. Kegiatannya sebagai filsuf dibagi 4 tahap, yaitu :

1. Periode pra fenomenologis

Pada waktu itu ia mengajar filsafat di Halle, sebagai dosen tamu.

2. Periode fenomenologis

Ia mengajar filsafat di Gottingen dengan mulai sebagai dosen tidak tetap, 1901-1916. Selama periode kedua ini ia mulai menyelidiki tipe-tipe murni di antara pengalaman-pengalaman logis, sesuai dengan obyeknya. Ia mulai memperkembangkan metode fenomenologis.

3 Periode fenomenologis murni

Ia mengajar terus di Gottingen, kemudian menjadi guru besar di Freiburg, 1916-1929. Antara tahun 1913-1930 ia mengumpulkan kelompok asisten dan mahasiswa yang sangat dekat dengannya. Namun caranya berfilsafat selalu agak bersifat monolog, ia merasa terisolir.

4 Periode Pengatasan Idealissme

Karya yang sesuai dengan perkembangan itu ialah Die Krisis der europaischen Wissenchaften und die tranzendentale Phanomenologie.[1]

B. PEMBAHASAN

Husserl mengalami perkembangan lama. Bertitik pangkal dari soal-soal pasti ia melangsungkan refleksinya sampai menghadapi dasar-dasar pemikiran filosofis. Mula-mula ia bereaksi terhadap empirisme dan psikologisme yang kuat pada abad itu. Dalam aliran itu ia menolak sikap "scientisme" yang menghadapi kenyataan dan pengertian dengan metode dan sikap ilmu eksakta. Sikap itu membina pertentangan antara subyek dan obyek dan memasulkan sikap asli terhadap hal-hal nyata. Husserl mau mengarahkan diri kembali ke isi obyektif. Obyek pertama bagi filsafat ialah bukan pengertian tentang kenyataan melainkan kenyataan sendiri. Menurut Husserl, di filsafat sendiri tidak ada persetujuan, sebab kurang disadari titikk tolak dan meode filsafat. Diinspirasi oleh studi ilmu pasti, ia berpendapat bahwa harus dicari metode yang benar-benar ilmiah. Metode itu untuk berfikir tanpa prasangka dan tidak bertitik tolak dari teori atau pandangan tertentu. Husserl mencari "titik arkhimedis" :dasar pengetahuan yang tidak tergoncangkan, semacam permulaan absolut bagi pengertian filosofis diabdikannya ke pencaharian itu. Husserl tidak menyusun suatu sistem hanya menghasilkan working papers. Berulang-ulang ia meninggalkan pandangannya dulu untuk lebih mendalam lagi dan meletakkan dasar yang lebih kokoh. Dalam proses ini yang merangkap metode dan isi, Husserl agak lama mengambil arah idealis. Fenomenologi menjadi suatu "filsafat pertama" Sebagai dasar bagi segala kesadaran murni atau "aku" transendental, yang merupakan titik tolak mutlak. Pada waktu itu Husserl dekat sekali dengan neo-kantianisme. Sekitar 1935 "aku" transdental itu mulai kehilangan status mutlak dan diperluas menjadi antarsubyektivitas transdental.[2]

Metode yang dipelopori Husserl disebutnya metode fenomenologis. Husserl menentukan metode filosofis ilmiah yang lepas dari segala prasangka metafis. Metode itu harus menjamin filsafat sebagai suatu sistem pengetahuan yang terjalin oleh alasan-alasan sehingga setiap langkah berdasarkan langkah sebelumnya. Metode fenomenologis diperkembangkan sambil melangsungkan penelitian filosofis. Ia meneliti pula semua syarat-syarat yang termuat dalam setiap pikiran dan kegiatan. Ia mencoba menentukan peraturan-peraturan bagi metode itu namun tidak pernah diikhtisarkannya. Namun akhirnya pada Husserl pula kelihatan hubungan erat antara metode dan isi(teori) filsafatnya. Terutama demikian waktu sistemnya menjurus ke arah idealisme. Kedua hal itu mustahil dipisahkan.[3]

Titik Tolak Metodis Dalam Obyek dan Subyek

Untuk mencapai obyek pengertian menurut keasliannya harus diadakan suatu pembersihan. Dari obyek itu harus disaring beberapa hal tambahan atau beberapa cara memahami yang lain. Operasi itu disebut "reduksi" Penyaringan ini sangat sulit dan membutuhkan latihan khusus.

1.Umum: Otonomi

Harus disisihkan segala unsur tradisi yaitu segala sesuatu yang diajarkan oleh orang lain mengenai obyek yang bersangkutan. Itu meliputi baik segala teori filsafat maupun seluruh hasil ilmu pengetahuan lainnya. Husserl menegaskan otonomi manusia seperti Decrates. Terutama pembersihan itu mengenai prasangka yang secara prinsipiil tidak mau diuji lagi.

2. Dalam Obyek: Fenonim

Obyek penyelidikan ialah "fenonim". Fenonim itu hanya data yang sederhana tanpa ditambah hal lain.

a. Penentuan Negatif

· Bukan dimaksudkan "fenonim" alamiah. Fenonim alam itu fakta atau relasi yang dapat diterapkan dalam observasi empiris, harus memang dialami menurut kehadirannya. Tetapi fenonim Husserl dapat juga hanya merupakan pandangan "rohani". Apalagi bukan saja dipandang sebagai fakta atau relasi, melainkan terutama menurut struktur-struktur hakiki. Maka dalam fenonim tidak boleh dimasukkan data-data fisis(tentang kayu dsb.) atau biologis (tentang otak dsb).

· Bukan fenonim seperti misalnya dalam fenomenologi agama yaitu penggambaran kebiasaan, pandangan, dsb. Mengenai fenonim demikian tidak ditunjukkan sebab apakah justru inilah fenonim-fenonim keagamaan. Husserl mencari kekhasan hakiki yang berlaku bagi masing-masing fenonim.

· Bukan diartikan hanya "semu" yang justru bukan kenyataan. Bagi fenonim Husserl bukanlah soalnya apakah itu "data' bagi subyek.

· Bukan dimaksudkan sebagai "penampakan" yang berlawanan atau dibedakan dengan hal –dalam- dirinya sendiri, misalnya seperti penyakit menjadi tampak dalam panas. Fenomenologi tidak memikirkan hal "di belakang" data atau fenonim, seperti yang terjadi pada Kant, justru fenonimlah yang dicarinya menurut hakekatnya.[4]

b. Penentuan Positif

Fenonim bagi Husserl mempunyai arti yang tepat dan ilmiah. Berasal dari kata Yunani phainomai, ialah menampak. Jadi phainomenon berarti yang menampak. Fenonim ialah data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman atau obyek justru dalam relasi dengan kesadaran. Fenonim dapat diartikan yang menampak dirinya didalam dirinya sendiri menurut adanya yang letaknya di depanku dengan jelas, yang disajikan. Fenomenologi mau mengadakan refleksi mengenai pengalaman langsung sejauh setiap kata secara intensionil berhubungan dengan obyek, misalnya saya melihat arna, saya mencintai teman. Jadi fenomenologi mau mengindahkan subyektivitas fundamentil yang termuat dalam pengertian. Mula-mula terutama pengertian ilmiah sendiri menjadi bahan refleksi. Tapi lama-kelamaan disadari bahwa obyek itu sama(secara materiil) dengan obyek ilmu-ilmu, hanya dipahami pada taraf lebih refleksif. Dan akhirnya seluruh perhatian diarahkan ke dunia yang dihidupi.

c. Dalam Subyek : Intuisi

Fenonim itu diamat-amati atau dipandang secara "rohani" dengan suatu intuisi.

  • Intuisi itu seluruhnya terarah pada obyek, bersifat murni-teoris, menurut arti kata Yunani theori, ialah observasi. Segala unsur subyektif disisihkan, semua saja yang melulu berasal dari subyek, seperti perasaan, keinginan, ketakutan, pandangan pribadi dsb. Subyek lupa pada dirinya sendiri mengambil sikap murni obyektif.
  • Intuisi itu bersifat melulu kontemplatif, mengenai obyek dikesampingkan semua pertimbangan praktis. Tidak ditanyakan gunanya atau manfaatnya, melainkan hanya adanya. Memang juga bidang praktis (etik, agama) dapat diselidiki secara fenomenologis, tapi lalu juga segi-segi itu(misal: tujuan, nilai) dipandang melulu dengan sikap kontemplatif tersebut.
  • Intuisi dibedakan dari segala pengertian diskursif. Segala unsur tidak langsung, seperti pemikiran, hipotesa, pengolahan, pembuktian, penyimpulan, itu disisihkan. Tidak diterangkan sesuatu dengan hukum-hukum, tidak pula dideduksikan sesuatu dari prinsip-prinsip. Hanya dipandang dan diucapkan semua saja yang dengan langsung disajikan dalam obyek. [5]

Bukan dimaksudkan bahwa intuisi itu suatu pencakuman lengkap, seakan-akan berlawanan dengan segala abstraksi. Seperti segala pengertian manusia, maka intuisi ini pun hanya menangkap aspek-aspek saja dan bukanl seluruh obyek konkrit total. Namun intuisi ini tidak memakai jalan abstraksi sebagai metode melainkan "hakekat" diintuisi di dalam yang singular.

Reduksi Pokok yang Pertama: Fenomenologis

Kata fenomenologis dipakai dalam arti terbatas. Disaring dan disisihkan segala keputusan tentang realitas atau idealitas obyek dan subyek. Tidak mau diperhatikan apakah memang ada atau tidak, eksistensi dikesampingkan. Walaupun demikian fenonim itu memang merupakan data, sebab sama sekali tidak disangkal eksistensinya, hanya diperhatikan. Namun obyek diselidiki hanya sejauh saya sadari. Dalam suasana kesadaran itu dengan tenang saya pandang obyek menurut relasinya dengan kesadaran. Arti negatif reduksi pertama ini bagi Husserl sendiri makin berkurang. Lama-kelamaan diberi arti lebih positif, juga semua penunjukan ke arah transenden(atau 'yang lain') sebagai korelasi intensionil dalam aktivitas manusia dihentikan untuk dapat mengarahkan perhatian ke subyektivitas transenden. Namun itu sudah mengarahkan ke reduksi pokok yang ketiga.

Reduksi Pokok yang Kedua

· Arti "eidos"

Dengan reduksi eidetic Husserl mencari eidos, ialah hakekat.

-Penentuan negative. Hakekat itu pun mendapat arti khusus.

1. Bukan dimaksudkan arti umum, seperti manusia adalah hakekat yang dapat mati. Arti itu hanya menunjukkan "hal" atau "makhluk". Padahal femolemologie memaksudkan isi dan steuktur di dalam "hal" itu.

2. Bukan dimaksudkan suatu inti yang tersembunyi misalnya hakekat hidup. Hakekat fenomenologie justru terbuka dan menampakkan diri.

3. Bukan pula hakekat menurut Aristoteles, seperti misalnya "man is a rational animal" Definisi demikian hanya memberikan sifat-sifat yang menentukan hakekat secara spesifik dalam rangka suatu genus. Tetapi di sampingnya masih ada pula sifat-sifat hakiki lainnya, dan sifat-sifat itu mau dimasukkan hakekat fenomenologis pula. [6]

  1. Penentuan Positif

Untuk mencapai kakekat itu Husserl mengesampingkan semua segi dan aspek dalam fenonim yang hanya krbrtulan atau yang hanya berhubungan dengan obyek individual ini. Yang dimaksudkan dengan hakekat ialah struktur dasariah yang meliputi : isi fundamental, dita,bah semua "sifat hakiki", ditambah semua delasi hakiki dengan kesadaran dan dengan obyek-obyek lain yang disadari.

  1. Proses Reduksi Eidetis

Titik tolak bagi proses ini ialah intuisi kabur yang predikatif. Itu harus digambarkan, direliti dan dianalisa dengan berdasarkan pengalaman pertama itu.

a. Kelengkapan

Analisa harus melihat segala sesuatu yang ada dalam data secara eksplisit dan sadar. Setiap obyek itu kompleks dengan tak terhingga. Seperti hewan hanya melihat hal-hal yang penting bagi dia, begiru juga manusia condong bersikap buta terhadap segi-segi tertentu. Analisa lengkap terutama harus menemukan kembali unsur dan segu dalam fenonim yang telah dilupakan.

b. Deskripsi

Analisa harus menguraikan segalanya yang dilahat. Semua unsur obyek harus dibentangkan dan digambarkan satu persatu. Unsur-unsur harus dibedakan, digambarkan menurut hubungannya satu sama lain.

c. Variasi imajinasi yang bebas

Untuk menentukan apakah sifat-sufat tertentu memang hakiki, Huseerl memakai prosedur mengubah contoh-cinroh. Ia menggambarkan comtoh tertentu yang representatif, misalnya manusia dengan panca inderanya, orang dengan hanya tiga indera atau tanpa indera sama sekali.,apakah orang demikian masih person.

d. Kriterium Koherensi

Pertama harus ada kesesuaian antara subyek,akt, obyek dan sifat-sifat. Observasi-observasi yang berturut-turut harus dapat disatukan dalam satu “horison” yang konsisten. Kedua, harus ada koherensi dalam deretan kegiatan. Fenomenologi harus menjelaskan dan merumuskan horison-horison bagi tindakan-tindakan intentionil yang tertentu, itu disebut “analisa intentionil”.[7]

  1. Hasil Proses

Lazimnya pemahaman hakekat dianggap menjadi hasil abstraksi dengan mengeliminir segala segi individu. Tapi menurut Husserl dengan metode fenomenologis hukanlah siobservasi obyek-obyek individu, dengan menghasilkan ucapan-ucapan empiris. Jusrtu dapat dipaham obyek intensiomil dengan sifat-sifatnya yang mutlak niscaya dan tidak lagi dapat divariasi

Reduksi Pokok yang Ketiga

1.Penemuan “Aku” Transendental

Semua hal atau strategi yang bersifat empiris dalam kesadaran kemudian dikurungkan atau disisihkan. Yang tinggal ialah hanya akt kesadaran sendiri. Akt itu tidak sama dengan kesadaran empiris yaitu sejauh aku menyadari diriku menurut pertemuan dengan fenonim tertentu Kesadaran yang ditemukan dalam reduksi bersifat murni atau transendental.

2. Analisa Fenomenologis :Periode Pertama

Semua yang ada merupakan obyek bagi kesadaran itu. Hanya “ada” sebagai obyek kesadaran transendental itu mengkonstitusikan segala obyek yang merupakan “sasaran” bagi intensionalitasnya mereka menjadi dunia.

  1. Analisa Fenomenolois : Periode Kedua

Sekitar tahun 1935 ”aku” transendental itu kehilanganstatus terisolir. Sunia bukan saja “berede” menurut adanya bagi individu transendenral melainkan menurut adanya bagi komunitas individu-insividu yang bersifat antarsubyektif.

Penyelidikan Husserl terhasap pembentukan kesadaran waktu berasal dari kebutuhan untuk memahami mode mengadanya aliran ini dan oleh karena korelasi.[8] Husserl menaruh perhatian pada subjektivitas transendenral, itu sejalan dengan tugas fenomenologinya dalam mengkaji pembentukan.[9]

Namun ada salah satu unsur dalam pemikirannya yang secara terus-menerus menngancam untuk membuat kerangkanya hancur remuk. Posisinya tidak lebih daripada hanya sebuah radikalisasi terhadap idealisme transendental dan unser ekstranya ini dicirikan oleh fungsi yang dipunyai konsep kehidupan bagi dia.[10]

Husserl mengawali penelitian filosofisnya dengan sebuah penyelidikan atas hakekat realitas matematis yang membawanya ke sebuah pengujian atas filsafat yang dominan pada masanya. Ini pada saatnya membawanya ke penemuan atas kekeliruan psikologisme. Untuk keluar dari labirin psikologisme, dia lalu membaca Brentano, salah seorang dari sangat sedikit pemikir anti-psikologismik pada masanya. Di sini dia menjadi akrab dengan konsep intensionalitas, yang bertentangan dengan pengajaran Brentano, dia anggap sebagai esensi dari pengetahuan dan kesadaran. Mengetahui sesuatu, menyadari sesuatu, secara hakiki berarti menemukan diri kita sendiri sedang mengarahkan diri, berarti menemukan diri kita terarah ke suatu realitas yang bukan kesadaran atau pengetahuan itu sendiri. Menjadi sadar berarti menjadi melampaui kesadaran ini dengan suatu cara dimana realitas yang disadari itu bukanlah kesadaran itu sendiri. Dan kehadiran realitas yang dituju inilah yang secara hakiki menentukan persoalan kebenaran dan kepastian.

Bentuk pertama dari reduksi yang kita dapati dalam karya Husserl ialah reduksi yang “menempatkan di antara kurung” eksistensi faktual dari benda-benda yang ditampilkan dalam kesadaran. Apakah yang ditempatkan Husserl ke penundaan sementara dari semua penilaian mengenai eksistensi faktual atas realitas yang tampak? Untuk memahami ini kita haruslah ingat kelaziman problem kritis dalam filsafat abad kesembilanbelas. Persoalan kritis ini menanyakan eksistensi dari sebuah realitas yang akan secara nyata berkorespondensi dengan representasi (penampakan) yang ditangkap oleh suatu Cogito yang tertutup dan terisolasi. Dengan tujuan untuk memby-pass “lubang hitam” (quicksand) dari diskusi-diskusi ini, Husserl memperkenalkan konsep pengurungan. Fakta bahwa Husserl menempatkan di antara kurung hal-hal yang berkenaan dengan eksistensi aktual atas apa yang tampak nyata kepada kita, fakta bahwa dia menunda penilaian yang pokok atas realitas, fakta bahwa dia menolak untuk mengikatkan dirinya dengan sebuah pengkadian status ontologis atas benda-benda, semuanya secara jelas mengindikasikan dalam tingkatan tertentu bahwa Husserl sendiri masih merupakan korban dari mitos Cogito yang secara keras hendak dia lawan (De Waelhens).[11]

Hanya dalam sebuah kerangka kerja filosofislah, di mana Cogito dilihat sebagai terisolasi dan terbungkus, dapat ditempatkan sebuah keraguan mengenai eksistensi faktual atas benda-benda. Husserl gagal untuk melihat pada saat itu bahwa konsep intensionalitas yang secara orisinal telah dia rumuskan telah menghalangi kemungkinan suatu reduksi fenomenologis yang dirancang untuk mengurung eksistensi faktual dari obyek-obyek dunia kita.

Ada beberapa inti pandangan Husserl yang mendasar. Pertama: Intensionalitas/keterarahan. Menurut Husserl kesadaran berilmu pengetahuan yang pertama-tama adalah kesadaran manusia tentang obyek-obyek intensional. Arti intensional yaitu semantic dan ontologik. Semantik : sesuatu bahasa dan juga logikanya, sesuatu dikatakan ekstensional bila dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Dikatakan intensional bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya. Bahasa atau logika intensional menampilkan bahasa modalitas atau probalitas dengan penjelasan. Arti ontologik : sesuatu dikatakan ekstensional bila kesamaan identitas antara dua sesuatu dapat dikatakan sebagai dua yang equivalent, dua yang identik. Sesuatu dikatakan intensional bila kesamaan, identitas tidak menjamin untuk dikatakan equivalent atau identik. [12]

Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia dimana kita hidup. Ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia dimana kita hidup. Kita dapat menganggap sepi obyek apapun tetapi kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran kita. Pandangan Husserl tentang perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat atas filsafat.[13]

C. PENUTUP

Refleksi transendental yang diduga menghilangkan semua validitas dunia dan semua yang telah ditentukan sebelumnya tentang sesuatu yan la in mestinya juga mempertimbangkan dirinya ketika dimasukkan ke dala dunia kehidupan. “Aku” reflektif melihat dirinya sebagai hidup di dalam ketentuan-ketentuan bertujuan di mana dunia adalah basisnya. Jadi , pembentukan dunia-kehidupan adalah sebuah tugas paradoks. Husserl menganggap semua ini hanya sebagai paradoks-paradoks semata. Dia mempertimbangkan bahwa mereka diselesaikan jika kita mengikuti secara logis makna transendental dati reduksi fenomenologis dan ridak takut pada roh jahat dari solipsisme transendental.[14] Agaknya teori reduksi fenomenologis untuk pertama kalinya berusaha melampaui makna sejati dari idealisme ini.



[1] Dr. Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), halm.107

[2] Ibid. hlm. 109

[3] Ibid. hlm 110

[4] Ibid, hal 112

[5]Ibid, hal 113

[6] Ibid, hal 115

[7] Ibid, hal 117

[8]Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode, ( Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2004), hal. 290

[9] Ibid. hlm. 292

[10]Ibid, hal. 294

[11]Reduksi Fenomenologis – Evolusi Pemikiran Husserl, www.averos.com diakses tgl 13 Maret 2009

[12] Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penelitian ( Yogyakarta, Rakesarasin, 2001), hlm. 93

[13] Harold, Marily, Richard , Persoalan-Persoalan Filsafat, diterjemahkan oleh Prof. Dr. H. M. Rasyid (Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1984) hlm 400.

[14] Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode,(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 293

Tidak ada komentar:

Posting Komentar