Selasa, 16 Februari 2010

Tentang sastra


Oleh : Ali Soekardi

ADA seorang kawan saya yang kelihatan selalu begitu kesal. Pada mulanya saya menyangka, kekesalannya itu disebabkan setelah sekian lama menyelesaikan studinya di sebuah perguruan tinggi, jadi dia seorang sarjana, tapi tak juga atau belum juga memperoleh pekerjaan tetap.

Dia lulusan Fakultas Sastra sebuah perguruan tinggi negeri yang bergengsi. Jadi, dia seorang sarjana sastra. Tapi, katanya, rupanya hampir tidak ada lowongan kerja untuk sarjana sastra.

Kecuali sarjana yang berkaitan dengan bidang bisnis, yang lowongan kerjanya lebih terbuka. Untuk seorang sarjana sastra, ya paling menjadi guru bahasa, atau bekerja pada instansi resmi yang ada kaitannya dengan kesarjanaannya. Tapi itu juga tidaklah gampang. Jadi apa usahanya untuk mencari penghasilan selama ini ? Ya, sekedar honor dari berbagai penerbitan, tempat di mana karya tulisnya dimuat.

Dia merasa bersyukur juga, karena sedikit banyaknya dia mempunyai bakat menulis misalnya cerita pendek, puisi, esai, dan sebagainya. Tapi berapalah itu, karena honor sebuah tulisan di koran lokal, tetap saja kecil. Tidak bisa diandilkan untuk menjamin hidup yang sederhana sekalipun.

Namun, ketika pada suatu hari kami omong-omong setelah sekian lama tak bertemu, kekesalannya itu bukan hanya sekedar sulitnya mencari pekerjaan tetap. Kalau untuk sekedar untuk makan, ya sedikit-sedikit bisalah dari honor tulisan yang dimuat. Meskipun harus bekerja keras, banyak menulis. Ditebar di berbagai media massa.

Tetapi ada hal lain yang dikesalkan dan disesalkannya. Sekarang ini, katanya, jarang sekali atau malahan hampir tidak ada diterbitkan majalah, jurnal, atau apalah namanya yang khusus kebudayaan maupun kesenian. Yang ada sekedar ruang kebudayaan/kesenian yang “nompang” di media umum. Tapi berapalah itu, apalagi di media massa lokal ruangan itu pun terbatas sekali.

Saya katakan, toh masih ada majalah Horison (yang dulu diasuh H.B.Jassin). Betul, katanya. Tapi Horison peredarannya pun sangat terbatas. Carilah di kios-kios koran/majalah, pasti tidak ada. Yang ada hanya pada tokobuku tertentu. Saya lihat dia begitu gandrung pada media kebudayaan (khususnya lagi kesenian). Menurut hemat saya, pendapatnya itu benar. Sekarang toh sulit menemukan media) kebudayaan yang serius.

Yang ada cuma media budaya pop, tentang musik pop, sastra pop/remaja (ini cukup banyak), dan sebagainya. Mungkin saja hal ini sesuai dengan zamannya, instan. Semuanya mau serba cepat, serba gampangan, “kalau bisa yang mudah, untuk apa yang sulit” ?.

Selain Horison yang masih ada, saya tidak atahu apakah majalah budaya Basis yang berpangkalan di Yogyakarta, masih terbit apa tidak (meskipun majalah ini juga sulit dicari di kios-kios buku/majalah biasa).

Tapi ada satu majalah budaya yang masih terbit di Yogyakarta, yakni Gong (Media Seni dan Pendidikan Seni). Majalah bulanan ini dipimpin (redaksi) oleh Joko S.Gombloh. Majalah yang terkesan lux ini, setiap terbit menyajikan tulisan-tulisan tentang seni, aktivitas kesenian nasional maupun lokal (dilengkapi dengan foto-foto yang bagus).

Umumnya Berumur Pendek

Saya sendiri tidak tahu, mengapa majalah-majalah khusus kebudayaan payah hidupnya di negeri kita. Padahal bangsa ini selalu membanggakan, bahwa bangsa Indonesia memiliki seni budaya yang bermutu tinggi dan beragam pula jenisnya. Saya teringat, di masa lalu memang ada majalah kebudayaan/kesenian, meskipun jumlahnya tidak begitu banyak namun lebih lumayan dibandingkan dari masa sekarang, meskipun pada umumnya majalah seperti itu hanya berfokus pada cerita pendek (dan inilah yang terbanyak), puisi, esai, kritik seni.

Pada tahun 1950-an misalnya banyak sastrawan/budayawan tingkat nasional yang terkemuka aktif mengelola majalah-majalah kebudayaan dan kesenian yang berbobot. Penyair kondang Chairil Anwar dan Asrul Sani pernah memimpin majalah bulanan Gema Suasana (Madjallah Bulanan Untuk Indonesia) diterbitkan oleh Penerbit Opbouw (bhs.Belanda artinya Pembangunan).

Edisi perdana, yaitu no 1 tahun I terbit tanggal 1 Januari 1948. Isinya berbagai artikel tentang kebudayaan dan kesenian, baik dalam maupun luar negeri, puisi (ketika itu disebut sajak), filsafat, dan cerita pendek, tidak jarang pula terjemahan dari pengarang terkenal luar negeri.

Sayangnya, pada bulan Juli 1948, Gema Suasana berobah baik nama maupun pengasuhnya. Namanya menjadi Gema (lebih singkat karena Suasana dihilangkan), dan pengasuhnya pun 100 persen berobah. Tidak ada lagi nama “Asrul Sani, Chairil Anwar maupun Rivai Apin. Yang muncul di redaksi adalah : Idrus (pengarang cerpen terkenal Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma yang dianggap sebagai pembaharu prosa Indonesia). Lalu ada nama M.Balfas, Barus Siregar, Bahrum Rangkuti. Penerbitnya tetap Opbouw, dan isinya tetap masalah kebudayaan dan kesenian, sastra, meskipun ada tambahan politik, memperkenalkan tokoh budaya terkemuka dunia, dan sebagainya.

Juga ada majalah budaya Konfrontasi yang diasuh oleh budayawan terkenal. Lalu majalah Pudjangga Baru, asuhan Prof. Sutan Takdir Alisjahbana. Isinya tantu seperti kita ketahui, yakni seni sastra zaman Angkatan Pujangga Baru yang telah dikenal sejak zaman sebelum perang (sebelum Indonesia Merdeka).
Yang perlu dicatat lagi adalah majalah budaya Indonesia (Madjallah Kebudajaan) dipimpin oleh Idrus. Penerbitnya Balai Pustaka, Jakarta. Nomor 1 terbit pada bulan Februari 1949.

Indonesia selain memuat tulisan-tulisan penulis terkenal ketika itu, juga dijadikan sebagai wadah belajar mengenal bangsa sendiri, dan mengenal dunia. Bukan itu saja, adakalanya Indonesia menerbitkan nomor selingan yang memuat novel (secara keseluruhan), misalnya Idrus Perempuan dan Kebangsaan, bahkan edisi no.6 Juli 1949 memuat naskah sandiwara radio karya Bahrum Rangkuti berjudul Sinar Memancar dari Jabal en Nur.

Sayangnya, majalah-majalah budaya yang masa itu dinilai berbobot, tidak tahan lama. Umumnya mati muda. Tak ada yang tahu apa sebab pastinya, selain ada pula yang berpendapat agak miring. Katanya, majalah-majalah tersebut dipimpin dan dikelola oleh para seniman besar yang terkenal, tapi punya sifat perajuk. Mereka bukan tipe orang yang mau bekerja mapan. Sedikit saja hatinya tersinggung, langsung pakerjaan dan kewajiban ditinggal begitu.

Pada tahun 1960-an dapat dikatakan, tidak ada lagi majalah-majalah seperti itu. Yang muncul kemudiam memang majalah yang berkiprah dalam seni budaya, tapi umumnya hanya berisi cerita pandek dan puisi. Bentuknya pun sudah lain, tidak lagi berukuran 15 X 20 cm, tapi sudah ukuran umumnya majalah (25 X 30). Pada awal mula terbit masih telanjang, maksudnya majalah itu belum mempunyai kulit (cover). Baru kemudian satelah mengalami kemajuan, majalah tersebut memakai “baju” maksudnya ada kulitnya, bahkan berwarna.

Umumnya Kumpulan Cerpen

Tercatatlah yang pernah terkenal sekali adalah Kisah, yang tak lain isinya adalah kumpulan cerpen. Ya, karena isinya melulu cerpen, adakalanya disisipkan puisi, dan sekali-sekali ada esai. Ini tahun 1950-an. Meskipun isinya hanya ceritapendek jangan lantas menilai sembarangan, justru cerpen-cerpan di maksud merupakan suara hati manusia Indonesia ketika itu, gambaran pikirannya, cita-citanya, dan kepribadiannya sebagai anak bangsa.

Pengarang yang tulisannya dimuat Kisah, umumnya para pengarang dari seluruh penjuru Tanah Air, berbagai lapisan masyarakat, dari Barat sampai ke Timur, tak salah jika dikatakan, mereka juga adalah wakil-wakil rakyat, mereka juga jurubicara rakyat yang mengemukakan berbagai masalah yang menyangkut nasib rakyat banyak.

Sastra yang diterbitkan oleh PT Interpress dan dipimpin oleh HB Jassin dan DS Moeljanto, ini juga tidak berusia lanjut. Majalah ini jadi korban gonjang-ganjing politik, akhirnya terpaksa tutup umur. Di zaman itu banyak juga orang/penerbit yang berminat menerbitkan majalah-majalah seperti Kisah ataupun Sastra. Misalnya ada majalah cerpen, namanya Tjerita, redaksinya Nugroho Notosusanto, yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Soeharto, lantas juga Tjerpen (Bulanan Tjerita Pendek) penerbitnya Yayasan Karya Budaya, redaksi Kasim Achmad.

Di zaman panasnya politik, kelompok sastrawan kiri (Lekra) juga punya majalah budaya bernama Zaman Baru (Madjalah Seni dan Sastera). Pimpinan Redaksi Rivai Apin. Tentu saja karya-karya para seniman mereka yang mempunyai pesan dan tujuan tertentu sesuai dengan garis politik mereka di zaman itu.
Horison (Majalah Sastra) awal terbitnya pada era pemerintahan Soeharto. Penerbitnya Yayasan Indonesia. Pimpinannya wartawan jihad Mochtar Lubis.

Sekelompok sastrawan terkenal menjadi pengelola majalah sastra yang satu-satunya ini dan sampai sekarang masih ada. P.K.Oyong (pendiri Harian Kompas), HB Jassin, Umar Kayam, Gunawan Muhammad, Sapardi Djoko Damono, Taufiq Ismail, MT Zen, Hamsad Rangkuti adalah tokoh-tokoh sasterawan yang turut mengelola majalah ini. Pada awalnya Horison juga terbit dengan “telanjang”, tak ada kulitmuka (cover). Memakai kertas koran. Berbeda dengan sekarang yang telah “berbaju cantik” dan nyeni, dicetak dengan bagus, cover-nya pun berwarna.

Waktu itu belum ada saingan. Baru kemudian pada tahun 2000 ada majalah bernama Sastra terbit di Bandung, dengan pemred-nya Prof.Dr. Mursal Esten. Tapi Sastra yang satu ini tak ada hubungannya dengan Sastra sebelumnya yang dipimpin oleh HB Jassin. Selain cerpen dan puisi Sastra (Bandung) ini lebih banyak menghadirkan esai, ulasan, bahkan ada kuis-nya. Namun Sastra ini pun tak berusia panjang, hilang tak meninggalkan bekas

Perlu Kerjasama

Begitulah secuil cerita tentang majalah-majalah kebudayaan, tapi lebih cenderung majalah sastra, yang pernah hadir di negeri kita tercinta ini. Pada umumnya umurnya tak panjang, kecuali Horison yang masih ada sampai sekarang, dan mudah-mudahan panjang usianya. Selalu saja timbul pertanyaan, mengapa majalah seperti itu kerap mengalami kesulitan, tak panjang umur, padahal di negeri kita cukup banyak sasterawan yang karyanya berkualitas.

Di negeri kita juga banyak sekolah yang mempunyai kurikulum pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia, tidak sedikit Fakultas Sastra (sekarang ada yang bernama Fakultas Budaya). Bukankah jutaan pelajar dan mahasiswa yang sebenarnya calon pembaca majalah-majalah kebudayaan atau lebih khusus majalah sastra.

Tapi hal ini tak pernah terjadi. Bukankah penerbit bisa bekerjasama dengan sekolah-sekolah maupun fakultas-fakultas tersebut. Lebih bagus lagi jika dapat bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional, justru hal itu bukan sekedar meningkatkan pemasaran majalah dimaksud, tapi juga menambah pengetahuan siswa/mahasiswa secara lebih luas dan aktual.

Karena dengan cara inilah barangkali pemerintah dapat membantu secara nyata untuk melanggengkan penerbitan majalah kebudayaan (lebih khusus majalah sastra), karena kabarnya di luar negeri pun majalah-majalah seperti ini pun hanya dapat panjang umur karena ada bantuan pemerintahnya secara nyata.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar