PENDAHULUAN
Manusia memiliki naluri yang senantiasa mengajaknya untuk mencari dan menemukan hal yang lebih baik dalam hidup. Dalam setiap hari bahkan setiap detik kehidupannya, ia berusaha memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang pas dan mencari alternatif lain yang lebih baik. Manusia dengan akal budinya kemudian menjadikan hidup sebagai sebuah proses pencarian yang tidak pernah kunjung usai. Ia selalu mencari kepuasan dalam melakukan segala hal, namun ternyata kepuasan tersebut semakin tidak ia dapatkan.
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manusia, agama, di sisi lain merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia. Pada titik tertentu, ia menjadi sebuah kebutuhan yang mustahil dilepaskan dari segala partikel diri manusia, material maupun non-material. Dalam sebagian besar perjalanannya—atau bahkan pada hakikatnya—, agama telah sangat banyak memberikan kesejukkan dan kehangatan bagi spiritual dan atau jiwa manusia yang lapar dan haus akan kesejahteraan, kemakmuran, dan ketenangan. Namun, baik disadari maupun tidak, keterbatasan kemampuan ‘pencernaan’ manusia kerap tidak mampu menggapai puncak keistimewaan tersebut. Dalam konteks ini, manusia juga lazim mengeluh dan bahkan kecewa akan kondisi ‘psiko-Ilahiyah-nya, sehingga merasa terpanggil untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal keagamaannya. Dalam konteks ini, manusia juga kerap kali melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal keagamaannya. Contoh yang paling kongkrit adalah perbaikan kuantitas dan kualitas ibadah, perbaikan sikap dalam bergaul dengan orang lain, dan sebagainya. Perbaikan-perbaikan yang demikian senyatanya merupakan hal yang sangat manusiawi, sebab hati manusia pada dasarnya selalu mengarah kepada kebaikan.
Jika demikian, perbaikan-perbaikan yang terjadi pada manusia, khususnya dalam aspek agama berkait erat dengan kondisi hati atau jiwa seseorang. Di sinilah peran psikologi dalam menganalisis kondisi kejiwaan seorang yang beragama. Namun sayangnya, tidak ada metode yang membidik sasaran pada hal yang abstrak, dalam konteks ini adalah hati dan kondisi jiwa manusia, Sebab itulah dalam psikologipun, objek penelitian yang begitu diperhatikan adalah tingkah laku seseorang, sebab hal yang demikian –sedikit banyak—mencerminkan bagaimana kondisi jiwanya.
Perbaikan-perbaikan semacam ini lebih dikenal dengan istilah konversi dalam psikologi.Berbagai macam wujud konversi beragama banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik yang terjadi pada diri kita sendiri dalam taraf yang ringan maupun yang terjadi pada orang lain dengan taraf yang berbeda. Salah satu wujud konversi yang kerap kita lihat adalah terjadinya perpindahan agama dan atau aliran pemeluk agama, semisal beberapa fenomena sebagian masyarakat Tionghoa dan Amerika memeluk agama Islam seperti yang akan dipaparkan dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
1. Definisi dan Tahapan Konversi Agama
Konversi agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah pendirian terkait ajaran agama atau bisa juga berarti masuk agama. Menurut William James (2004) konversi berarti pertobatan dari merasa diri benar sendiri dan egois akhirnya menemukan kebahagiaan karena merasa dekat dengan Tuhan dan muncul pula perasaan peduli kepada orang lain. Inti konversi dari perspektif ini adalah "bangkitnya gairah" dan "penuh minat" terhadap agama yang baru dipeluknya itu.
Menurut Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat (2003) yang dimaksud dengan Konversi Agama adalah terjadinya suatu perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula. Di dalam mengalami konversi agama, prosesnya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan pertumbuhan jiwa yang dilaluinya serta pengalaman dan pendidikan yang diterimanya sejak kecil, di tambah lagi dengan suasana lingkungan dia hidup dan pengalaman terakhir yang menjadi puncak perubahan keyakinan itu
Beberapa definisi yang digagas oleh para psikolog terhadap frase ini bisa dikatakan sama, meski dengan redaksi dan aksentuasi yang beragam. Definisi tersebut paling tidak menggambarkan bahwa konversi dalam pengertian ini merupakan perbaikan yang cukup signifikan, bahkan Zakiah Darajat (2003) menggunakan bahasa yang cukup ekstrim dalam hal ini, yakni dengan bahasa ‘berlawanan arah’. Clark juga menegaskan hal ini meski dengan bahasa ‘perubahan arah yang cukup berarti’. Dua sampel definisi ini bisa memfokuskan kajian kita pada kejadian-kejadian yang cukup insidental dalam keberagamaan seseorang.
Teori konversi agama (religious conversion) yang muncul pada era tahun 80-an hingga akhir abad 20 M- ini dapat diartikan dengan peristiwa perpindahan agama ataupun masuk agama. Secara etimologi, konversi berasal dari kata latin conversio yang berarti taubat, pindah, dan atau berubah (agama). Dalam Bahasa Inggris, conversion mengandung pengertian berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertaubat, berubah agama, berbalik pendirian (berlawanan arah) terhadap ajaran agama yang lama atau masuk ke dalam ajaran agama yang baru yang tentunya lebih baik, lebih menentramkan dan lebih menenangkan dari ajaran agama yang lama (menurut subyek konversi).
Berikut beberapa pandangan psikolog tentang arti konversi:
a) Heirich (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan masuk atau berpindah kepada suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
b) James (2004) mengatakan konversi agama adalah dengan kata kata: to be converted, to be regenerated, to recive grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases which denote to the process, gradual or sudden, by which a self hit herro devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities. Artinya: “Berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kurang bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan beragama”.
Dalam perspektif skop wilayah perpindahan, konversi dikatakan memiliki dua tipe; yakni konversi internal dan konversi eksternal. Konversi internal berarti sebuah konversi yang masih terjadi dalam satu rumpun agama besar, seperti pindah madzhab atau aliran, katakanlah dalam hal ini Al-Qiyadlah Al-Islamiyah. Sedangkan konversi eksternal adalah adanya perubahan antar rumpun agama. Dengan demikian bisa difahami bahwa konversi internal merupakan konversi dengan perubahan yang taraf signifikansinya masih lebih kecil dibanding konversi eksternal. Selain itu, masing-masing tipe tersebut memiliki beberapa tingkatan dengan taraf yang berbeda.
Konversi agama, kendatipun merupakan suatu hal yang manusiawi dan wajar, akan tetapi memiliki latar belakang dan tahapan-tahapan proses yang dialami oleh subjek konversi agama. Kendatipun, mengutip penjelasan James, tidak ada yang bisa menjelaskan semua hal dalam konversi agama secara detail, sebab hal tersebut merupakan sesuatu yang bersifat abstrak., akan tetapi para psikolog telah merumuskan ciri atau gejala yang dialami subjek konversi, sebagaimana dikemukakan Ramayulis (2002) berikut:
Ø Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya (perubahan pandangan ini bisa terjadi sendirinya dan berasal dari kegelisahan pribadi ataupun muncul setelah menerima doktrinisasi)
Ø Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak. (Secara adat, seseorang yang kondisi jiwanya labil cenderung mudah menerima doktrin, terlebih jika doktrin tersebut memberikan solusi terhadap kegelisahan yang dideranya)
Ø Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri.
Adanya beberapa tahapan dalam konversi merupakan suatu keniscayaan, mengingat konversi adalah aktivitas perubahan arah yang sangat besar. Hal ini juga berlaku pada konversi yang terjadi secara spontanitas, kendatipun proses atau tahapan konversi tersebut tidak se-kasatmata seperti proses yang terjadi pada konversi yang bertahap. Seperti yang diungkapkan oleh Zakiah Darajat (2003), subjek konversi mengalami beberapa fase yang kemudian mengantarkannya pada konversi.Tahapan dan proses tersebut adalah:
Ø Masa Tenang , yaitu sebelum mengalami konversi, jiwa seseorang tenang karena masalah agama belum mempengaruhinya.
Ø Masa Ketidaktenangan, yaitu masa dimana masalah-masalah agama mulai mempengaruhi batin seseorang, bisa dikarenakan krisi, musibah ataupun perasaan berdosa yang dialaminya, sehingga terjadinya konflik dan pertentangan batin berkecamuk dalam hatinya. Perasaan-perasaan ini mengakibatkan seseorang menjadi lebih sensitive.
Ø Masa Konversi, terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih.
Ø Keadaan Tenteram dan Tenang, yaitu timbulnya perasaan atau kondisi jiwa yang baru, dimana jiwa merasa tenang dan tenteram yang timbul dari rasa puas terhadap keputusan yang sudah diambil.
Ø Ekspresi Konversi dalam hidup, yaitu pengungkapan konversi agama dalam tindak – tanduk perlakuan, sikap dan perkataan dan seluruh jalan hidupnya berubah mengikuti aturan – aturan ajaran agama
Beberapa tahap tersebut senyatanya tidak kemudian selalu dialami oleh subjek konversi. Secara umum, awalnya subjek akan mengalami kegelisahan, mencari hal yang bisa meredakan gelisahnya, memantapkan niat konversinya, kemudian melakukan konversi.
William James menambahkan bahwa konversi merupakan akibat atau tahapan dari proses pengeraman di otak. Dalam arti, subjek konversi mengalami kegelisahan menumpuk yang sudah lama dipendamnya. Perasaan-perasaan yang terpendam tersebut biasanya berwujud ketidakpuasan terhadap fungsi agama yang dianggap kurang membumi dan kurang bisa mengakomodir persoalan-persoalan serta kebutuhan pemeluknya. Adakalanya, kegelisahan tersebut berhasil diatasi dan diredam, namun tidak jarang, kegelisahan tersebut justru menjadi dorongan untuk melakukan hal yang besar. Dorongan tersebut bisa muncul dari dalam diri subjek (subjek secara aktif mencari solusi dari kegelisahannya) ataupun muncul karena ada pengaruh dari luar.
Dilihat dari awal mula proses konversi ini, James mengatakan ada dua macam konversi, yakni konversi melalui kemauan dan konversi melalui kepasrahan. Konversi yang pertama barangkali lebih representatif terhadap contoh subjek yang secara aktif mencari solusi dari kegelisahannya. Subjek konversi memang sengaja melakukan upaya untuk mencari pencerahan-pencerahan baru. Ia merasa tidak ‘betah’ pada ‘tempat’nya yang semula dan berusaha pindah pada’ tempat’ yang lebih memberinya kepuasan. Sedangkan tipe konversi yang kedua lebih berarti kejadian-kejadian spontanitas yang dialami subjek konversi. Ia menerima pesan dari alam bawah sadarnya yang kemudian menjadi awal konversinya. Pesan bawah sadar ini pada dasarnya dan pada lazimnya tidak akan muncul seketika tanpa adanya kegelisahan-kegelisahan yang sebelumnya dialami subjek.
2. Faktor-Faktor Penyebab Konversi Agama
A. Penido Penido (dalam Ramayulis, 2002), berpendapat bahwa konversi agama mengandung dua unsur:
1. Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.
2. Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan. Sedangkan berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan factor yang manjadi pendorong konversi (Motivasi konversi). James dan Heirich (dalam
Ramayulis, 2002), banyak menguraikan faktor yang mendorong terjadinya konversi agama tersebut menurut pendapat dari para ahli yang terlibat dalam berbagai disiplin ilmu, masing-masing mengemukakan pendapat bahwa konversi agama di sebabkan faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni.
B. Para Ahli Agama,
Para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi. Pengaruh supernatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok.
C. Para Ahli Sosiologi,
Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama karena pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain:
1. Pengaruh hubungan antara pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non agama (kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang keagamaan yang lain).
2. Pengaruh kebiasaan yang rutin. Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jka dilakukan secara rutin hingga terbiasa. Misal, menghadiri upacara keagamaan.
3. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat, misalnya: karib, keluarga, famili dan sebagainya.
4. Pengaruh pemimpin keagamaan. Hubungan yang baik dengan pemimpin agama merupakan salah satu pendorong konversi agama.
5. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama.
6. Pengaruh kekuasaan pemimpin. Yang dimaksud disini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum. Misal, kepala Negara, raja. Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara pesuasif (secara halus) dan pengaruh yang bersifat koersif (memaksa).
D. Para Ahli Ilmu Jiwa,
Para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh factor intern maupun faktor ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga ia mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang tenang dan tentram.
E. James,
Dalam uraiannya James (2004) yang berhasil meneliti pengalaman berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan sebagai berikut:1.Konversi terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap.2.Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses).
Kemudian James mengembangkan Faktor Penyebab konversi itu mengembangkan menjadi tipe Volitional (perubahan bertahap), konversi agama ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran. Kedua, tipe Self-Surrender (perubahan drastis), konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya.
Pada konversi agama tipe kedua ini James (dalam, Ramayulis, 2002) mengakui adanya pengaruh petunjuk dari Yang Maha Kuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuh-penuhnya. Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama tersebut berdasarkan tinjauan psikologi tersebut yaitu dikarenakan beberapa faktor antara lain:
1. Faktor Intern meliputi, pertama, Kepribadian. Secara psikologis tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehiduan jiwa seseorang. Dalam penelitiannya, James (dalam Ramayulis, 2002) menemukan bahwa tipe melankolis (orang yang bertipe melankolis memiliki sifat mudah sedih, mudah putus asa, salah satu pendukung seseorang melakukan konversi agama adalah jika seseorang itu dalam keadaan putus asa) yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya. Kedua, faktor pembawaan. Menurut Sawanson (dalam Ramayulis, 2002) ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa, karena pada umumnya anak tengah kurang mendapatkan perhatian orangtua. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
2. Faktor Ekstern meliputi, pertama faktor keluarga. keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat dan alinnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya. Kedua, Lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hinggakegelisahan batinnya hilang. Ketiga, Perubahan status. Perubahan status terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya: perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, menikah dengan orang yang berbeda agama dan sebagainya. Keempat, Kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan factor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama.
3. Fenomena Konversi Agama
Ada banyak fenomena-fenomena konversi agama yang terjadi, baik yang secara ekstrem berpindah ke agama lain semisal Nasrani ke Islam ataupun sebaliknya, maupun yang hanya berpindah ke aliran seperti jadi pengikut aliran al-qiyadhah aal-Islamiyah dan sebagainya. Salah satu fenomena yang penulis coba kaji adalah konversi agama seorang Franklin, (dimuat dalam majalah Annida, dalam Rubrik “Muda’) mahasiswa Amerika yang akhirnya memeluk agama Islam dan berusaha untuk berdakwah setelah menemukan kebenaran Islam.
4. Analisis Fenomena Konversi Agama
Seperti dijelaskan di atas, konversi (menurut para ahli jiwa) yang terjadi dalam batin dapat disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih. Lebih mudahnya kita menyebutnya dengan religious doubt atau keragu-raguan terhadap agama yang dianutnya sekarang. Begitu juga yang dialami oleh Franklin, dia mengaku masuk Islam karena dia merasa ragu terhadap agama yang dianutnya pada waktu itu (Nasrani) karena banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh agamanya. Akhirnya dia mempelajari semua tipe agama dengan harapan ada yang bisa menjelaskan berbagai pikiran yang berkecamuk dalam pikirannya. Sehingga akhirnya dia mempelajari al-Quran. Menurutnya Al-Qur’an adalah alasan utamanya menjadi muslim. Al-Qur’an menyatakan kebenaran padanya, tentang Allah dan banyak hal. Dia benar-benar tertarik sejak pertama kali membacanya. Padahal saat itu sebenarnya dia sedang taat-taatnya pada agama yang lama dan menjadi pastur muda di sekolah.
Sedangkan menurut para ahli agama masuknya Franklin ke agama Islam adalah karena hidayah Allah semata atau petunjuk Illahi. Setelah menjadi muallaf Franklin merasa banyak hal-hal baru yang luar biasa dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan salah satu karakteristik dari Religious Conversion yaitu perasaan seperti lahir kembali. Hal ini mengakibatkan rasa optimisme dan semangat untuk lebih mempelajari agama baru yang dianutnya, dalam hal ini adalah Islam.
Yang terakhir yang dapat dilihat dari fenomena muallafnya Franklin adalah semangat dakwahnya. Hal ini adalah karakteristik lain dari Religious Conversion yakni semangat menularkan pengalamannya dan mampu berkurban demi keyakinannya. Hal ini akan dimulainya dari orang tuanya terlebih dahulu.
KESIMPULAN
Konversi agama adalah proses dari sikap tidak peduli terhadap norma Agama, hingga penerimaan suatu sikap keberagamaan, proses itu bisa terjadi secara bertahap atau tiba-tiba. Proses ini menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar.
Menurut kajian psikologi agama, terjadinya perubahan arah dalam keyakinan seseorang tidak akan lepas dari penyebab utamanya, yaitu karena petunjuk atau Hidayat Ilahi, akibat penderitaan batin ataupun pilihan sendiri setelah melalui pertimbangan yang masak. Di awal-awal terjadinya perubahan tersebut, setiap diri merasakan kegelisahan batin. Sehingga sulit untuk memutuskan secara spontan mana yang harus diikuti.
DAFTAR PUSTAKA
Darajat, Zakiah. 2003. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang
James, William,. 2004. Perjumpaan dengan Tuhan, terj. Gunawan Admiranto, Bandung: Mizan,
Ramayulis. 2002. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta:
Majalah Annida No 01/XV (September-Oktober).
terima kasih banyak mbak ria atas blognya,,sangat membantu tugas psikologi agamaku,,hehe...
BalasHapushmm... tanks....ya ustadzah Ria...
BalasHapus